Karier "SS" PNS Kemenag Jogja Terkebiri, Tuntut Keadilan Ditegakkan

KABARDESANUSANTARA | YOGYAKARTA - Saya sebagai CPNS sebut saja "SS" yang diangkat dari penyuluh honorer K1 Kemenag Kota Yogyakarta. Saat diangkat menjadi PNS jabatan saya sebagai pelaksana di KUA dan belum bisa menjadi penyuluh karena pangkat dan golongan belum memenuhi syarat. Setelah penyesuaian ijazah S1 per 1 April 2014 telah memenuhi syarat sebagai Penyuluh Agama Fungsional, maka pada 11 Juli 2014 saya mengajukan permohonan menjadi Penyuluh Agama Fungsional Kepada Kankemenag Kota Yogyakarta yang diteruskan kepada Kanwil Kemenag Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada 26 Juni 2015 turun surat penolakan dari Kanwil Kemenag DIY dengan alasan yang terkesan dibuat-buat dan janggal, sehingga peluang tersebut gagal saya dapatkan," ungkap SS kepada awak media.
Pada 29 Oktober 2015 saya melaporkannya kepada Ombudsman Republik Indonesia
(ORI) Perwakilan DIY. Pada 14 Januari 2016 Kakanwil Kemenag DIY berkirim surat
kepada ORI DIY yang menjelaskan alasan penolakan permohonan saya tersebut. Ternyata dalam lampiran surat tersebut ada 2 surat keterangan majelis taklim yang tidak benar dan 2 surat keterangan dari Ketua pengajian yang palsu (1 surat tanda tangan orang yang sudah tidak menjadi pengurus pengajian dan stempel palsu; 1 surat lagi tanda tangan dan stempel palsu). Surat keterangan tersebut menyatakan bahwa saya bukan Penceramah Agama Tetap pada Pengajian “Ahad Pagi” Masjid Besar Pakualaman dan bukan pengisi tetap pada pengajian tanggal 25 Masjid Faridan M Noto. Para ketua majelis taklim tersebut menyatakan bahwa tidak ada penceramah/pengisi tetap, melainkan berganti-ganti," terang SS
Surat keterangan yang tidak benar itu, sudah saya konfirmasi ke Ketua majelis taklimnya bahwasanya ada seseorang bernama Muntholib alias Hasan yang datang ke Majelis Taklim membawa surat untuk dimintakan tandatangan kepada Ketua majelis taklim. Orang ini merupakan terduga pembuat surat yang tidak benar/pemalsu surat.
Pada 12 Mei 2016, Saya melaporkan surat keterangan yang tidak benar dan atau palsu ke Polresta Yogyakarta. Polisi menerima laporan surat keterangan yang tidak benar dengan pasal pencemaran nama baik. Akan tetapi, laporan tentang pemalsuan surat tersebut ditolak karena saya dianggap bukan pemilik tanda tangan dan stempel yang dipalsu tesebut.
Lha kan saya yang dirugikan? Bagaimana bisa saya tidak boleh menuntut keadilan?
Selanjutnya, saya mendorong pemilik stempel dan tandatangan yang dipalsu tersebut untuk melaporkan ke Polresta Yogyakarta, dan sudah dilaksanakan. Akan tetapi, entah kenapa laporan tersebut di tengah jalan dicabut oleh pelapornya. Saya pun hingga hari ini, masih belum tahu dan bertanya-tanya apa alasan sebenarnya," jelas SS
Pada 17 Juni 2017, saya melanjutkan kasus pemalsuan surat tersebut di Polda DIY. Di Polda DIY, responnya diterima. Sayang, malah dilimpahkan kembali ke Polresta Yogyakarta. Yang tentu akhirnya, kasus ini mentok lagi. Kasus ini dihentikan dengan alasan tidak memenuhi unsur pidana, menurut surat dari Polresta Yogyakarta.
Seharusnya, soal unsur pidana itu harus dicantumkan pendapat dari saksi ahli hukum pidana. Oleh karena Polisi mengganggap tidak perlu ada pendapat saksi ahli pidana, maka saya berikhtiar meminta pendapat saksi ahli hukum pidana secara resmi kepada Fakultas Hukum Universitas Swasta di Yogyakarta. Dimana hasilnya, ada peristiwa pidana sesuai pasal 263 KUHP yakni pemalsuan surat yang dibuat oleh Sdr. Muntholib, S. Ag alias Hasan dengan ancaman hukuman penjara selama 6 tahun.
Pendapat saksi ahli ini saya sampaikan kepada penyidik kasusnya. Penyidik pun minta saksi ahli dihadirkan, setelah dihadirkan ternyata tidak dilakukan BAP oleh penyidik.
Tanpa adanya BAP, kasus ini mentok lagi. Jadi Polisi itu bisa mengatur “abang, ijonya” perkara sesuai kehendaknya. Polisi yang menyelidiki, Polisi yang menyimpulkan ada
atau tidaknya unsur pidana dan mengabaikan pendapat ahli hukum pidana. Di sini Polisi itu ahli segalanya," lirih SS
Setelah 6 tahun tidak ada kepastian, pada 13 Maret 2023 saya berikhtiar kembali mendatangi Propam Mabes Polri di Jakarta. Saya datang khusus dari Jogja untuk memperjuangkan ketidakadilan yang telah saya alami selama ini.
Di Propam, saya melaporkan progres yang sudah berlarut-larut dan belum selesai lebih dari 6 tahun ini. Dan diterima secara formal sebagai bentuk permohonan perlindungan hukum. Selanjutnya oleh Propam dilimpahkan kepada Birowasssidik
Mabes Polri. Informasi terakhir dari Birowassidik laporan saya tersebut masih dalam proses analisis dan menunggu hasil supervisi kepada Polda DIY. Oleh karena terlalu lama tidak ada progres yang pasti, maka saya beritahukan kepada Birowassidi akan saya ekspos ke media massa dan atau media sosial, karena kenyataanya kasus Sambo itu terungkap setelah diekspos ke media massa dan atau media social, begitu juga kasus Vina. Saya berharap media massa dapat membantu saya untuk memperoleh keadilan.
Saya masih berharap keadilan dapat ditegakkan sebenar-benarnya.
PELAJARAN MORAL
Sejak tahun 2014 sampai dengan 2021 karir saya menjadi Penyuluh Agama Fungsional
dicut. Saya mengalami kerugian sebagai pelaksana di KUA hanya mendapatkan tunjangan kinerja pada grade 5, sedangkan Penyuluh Agama Ahli Pertama berada pada grade 8. Teman-teman saya yang karir menjadi Penyuluh tidak dijegal sudah mencapai golongan IV dengan grade 11 dan usia pensiun mencapai 60 tahun. Saya yang tidak memungkinkan mencapai golongan IV memasuki masa pensiun hanya sampai usia 58 tahun. Sekarang usia saya 56 tahun, masa pensiun saya hanya tinggal 2 tahun lagi.
Meskipun masih belum terlihat solusinya, saya tidak berputus asa dan terus berharap kasus ini akan terselesaikan.
Bisa jadi, ada orang lain yang mengalami seperti apa yang saya alami. Saya berharap, pelajaran dari kasus ini dapat diambil hikmahnya, bahwa keadilan harus ditegakkan
sekalipun esok hari langit akan runtuh. Sekalipun hanya hal-hal remeh, keadilan harus ditegakkan.," tutupnya.
Editor :Ira Puspita